Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |



"Dua Belas Kali Aku Tergusur"

Evi Hermawati, seorang siswi kelas 2 SLTP Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta menorehkan catatan mengesankan dalam salah satu kisah hidup yang dilaluinya. Sebuah esai gadis kecil 14 tahun ini yang berjudul Dua Belas Kali Aku Tergusur memenangkan lomba penulisan esai tingkat nasional Children Helping Children kategori SLTP yang diadakan oleh Tupperware. Ia berhasil menyisihkan 1.754 karangan lainnya. Anak ketiga dari 4 bersaudara ini berhasil memenangkan piala, beasiswa sebesar 5 juta rupiah, serta bingkisan yang diserahkan oleh Menteri Pemberdayaaan Perempuan Indonesia, Meuthia Swasono Hatta.

Walaupun dalam pelajaran sekolah ia tidak begitu menonjol, namun Evi dikenal sebagai anak yang pemberani dan aktif. Yuwanti, guru Bahasa Indonesia di sekolahnya, adalah orang yang memberikan inspirasi bagi Evi untuk menulis. Evi sangat terkesan dengan pelajaran yang pernah diberikan oleh gurunya tentang menulis buku harian. Sampai di rumah, Evi meminta ibunya membelikan buku harian. Ketika itu ibunya tidak mempunyai cukup uang, namun karena melihat keinginan Evi yang sangat kuat, akhirnya orangtua Evi memberinya uang untuk membeli buku harian pertamanya. Sejak itu Evi selalu menuliskan pengalamannya di buku harian mungilnya.

Walaupun kedua orangtua Evi tidak bisa baca tulis, namun dukungan yang mereka berikan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan Evi. Pendidikan sederhana yang mengajarkan kearifan hidup serta keikhlasan menerima semua cobaan hidup menjadikan Evi sebagai sosok yang mandiri dan berani.

 

Waktu itu hari Sabtu bulan November 2001. Entah tanggal berapa, aku pun sudah lupa. Yang masih tersisa dalam ingatanku, waktu itu aku merasa senang karena saat ke sekolah aku naik sepeda kesayanganku. Maklumlah sepeda baru! Sebelum ada sepeda itu, aku senantiasa berjalan kaki kalau pergi ke sekolah. Bagiku jarak yang jauh merupakan hal yang sudah biasa. Berjalan kaki dari kawasan Permai ke Muara Angke kalau dihitung-hitung kurang lebih 10 kilometer, sudahlah biasa.

Aku bersekolah di SD. Pluit 05 Pagi. Setelah punya sepeda, aku senang luar biasa. Selain sekarang aku bisa lebih cepat menuju ke sekolah, juga merasa lebih tenang, nyaman, dan entah rasa apa lagi yang terselip di benakku. Namun, kesenangan itu tidak berlangsung lama, hanya melintas sekejap dalam hitungan hari karena seminggu kemudian tempat aku berteduh, berlindung, bercengkerama bersama orangtua dan saudara-saudaraku, musnah oleh amukan dan garukan buldoser petugas tramtib yang meratakan rumah kami.

Masih teringat dalam bayangan, jerit tangis warga dan teriakan-teriakan arogan petugas tramtib. Seolah-olah aku adalah seorang manusia yang tidak bermartabat, yang tidak punya hak untuk hidup, yang tidak layak untuk tinggal di Jakarta , kota metropolitan ini. Segala harta benda habis sudah terkena amukan dan garukan sang buldoser. Demikian juga dengan sepedaku yang baru seminggu kumiliki.ˇ¨

 

Kolong Jembatan Itu

Kulihat wajah orangtuaku begitu sedih, cemas, dan ketakutan. Akhirnya orangtuaku memutuskan untuk pindah ke kolong jembatan jalan tol. Mulanya aku merasa tidak nyaman. Namun setelah beradaptasi dengan orang-orang senasib, aku mulai bergairah kembali untuk mulai menata hidup. Aku tetap bersyukur pada Allah SWT. karena bagaimanapun, berkat rahmat-Nyalah, aku masih berkesempatan untuk hidup dan berkumpul bersama keluarga.

Bagaimana dengan kelanjutan sekolahku? Ya, aku tetap melanjutkan sekolah. Walaupun aku jalani seperti dahulu dengan berjalan kaki, aku tetap merasa senang karena pergi bersama teman-teman. Jarak mungkin lebih jauh, namun semangatku dua kali lebih kuat dari sebelumnya.

Genap satu bulan aku tinggal di kolong jembatan. Kehidupan mulai tertata dengan baik. Namun di luar dugaan, saat aku pulang sekolah, kusaksikan gubuk sederhana di bawah jembatan itu tercabik-cabik oleh alat-alat tramtib. Penggusuran demi penggusuran terus berlangsung tanpa kenal perikemanusiaan. Aku terdiam dan air mataku mulai mengalir terhimpit oleh rasa yang menyakitkan. Ya Allah, apakah ini kenyataan hidup? Apakah ini negeri yang berlandaskan Pancasila seperti yang aku dapatkan dalam pelajaran di sekolah? Ya Allah......

Api mulai menjalar ke rumah-rumah warga dan memusnahkan puing-puing. Malam harinya, kami sekeluarga tidur di kolong jembatan hanya beralaskan tikar dan selimut seadanya. Kutatap langit-langit jembatan, suara deru kendaraan yang melintas seakan-akan menggilas remuk jiwa ragaku. Kutatap adikku mulai menggigil kedinginan. Ayah hanya duduk termenung entah apa yang ada di benaknya. Lalu terlintas bagaimana aku melanjutkan sekolah. Apa aku harus berhenti sekolah? Atau tetap bersekolah dengan keadaan seperti ini? Bagaimana dengan masa depanku? Akhirnya aku terlelap di tengah kecamuknya batin yang tiada menentu.

Esok harinya, ibuku membawa tenda biru. Ibu dan ayahku mendirikan gubuk kembali walaupun hanya dengan selembar tenda dan beberapa tiang yang tersisa. Di saat hari panas, aku kepanasan. Di saat hujan, air pun menembus tenda yang telah kujadikan tempat tinggal.

Setelah beberapa minggu kami tinggal di tenda di kolong jembatan, musibah masih tetap menimpaku dan keluargaku. Pembongkaran paksa pun kembali terjadi terhadap komunitas kami, orang-orang yang tergusur. Inilah kesaksian yang entah keberapa kalinya aku lihat secara langsung. Kali ini aku benar-benar histeris. Aku menangis sekeras-kerasnya. Aku memaki-maki aparat tramtib yang mencoba untuk meringkus dan mengusir kami. Aku katakan betapa kejamnya pemerintah ini, gubernur ini, bahkan presiden ini. Tak punya hatikah mereka? Tak punya perasaankah mereka? Ataukah aku yang bersalah dalam hal ini? Saat penggusuran usai, bulan Ramadhan pun tiba. Kumandang takbir, adzan, dan alunan ayat-ayat suci Al Quran semakin menyayat hati. Sepanjang bulan Ramadhan, aku tetap menjalaninya sebagaimana biasanya. Siang aku berpuasa dan malam shalat tarawih. Sesekali aku memang tidak bisa menahan haus dan lapar sampai sore karena harus mencari rongsokan dan barang bekas yang bisa dijual kembali. Uang yang terkumpul dipakai ibuku untuk membeli tenda yang menjadi gubuk tempat tinggal kami.

Lebaran pun tiba. Tidak ada istilah mudik bagiku. Aku sambut Lebaran dengan riang gembira. Kupakai baju baru seadanya. Makan ketupat dan sayur tetap menghiasi Lebaran ini. Kulihat wajah ibuku begitu bahagia melihat aku dan adikku memakai baju baru. Kucium tangan ibu dan ayah sebagai ungkapan permintaan maaf dari seorang anak kepada orangtuanya.

Waktu terus berputar, sekolah pun akan kembali dimulai. Aku masih ingat waktu itu hari Sabtu. Ayah mengajakku bersilaturahmi ke rumah saudara. Waktu semakin sore, dan kami pun pulang. Setibanya di rumah, betapa terkejutnya aku melihat apa yang terjadi. Rupanya rumah kami kembali menjadi korban penggusuran. Begitu hiruk-pikuknya suasana penggusuran itu. Sementara ayah dan ibuku hanya terdiam, sudah tidak ada satu barang pun yang dapat diselamatkan. Ibu memeluk kami erat-erat dan Ayah mengajak kami menghindar. Ada sekumpulan mahasiswa yang berusaha membela kami. Entah mahasiswa mana aku tidak tahu, namun mereka berniat baik. Mereka mengajak kami berdemonstrasi ke gedung DPR/MPR untuk meminta pertanggung-jawaban yang telah dilakukan aparat. Memang ada sebagian warga yang berdemo ke sana . Sementara aku lebih memilih mencari barang-barang bekas yang bisa kujual. Jadilah aku seorang pemulung.

Menjadi pemulung bagiku tidaklah memalukan. Apa yang mesti dipermalukan? Bagiku pekerjaan ini halal. Namun, sudah beberapa hari aku tidak masuk sekolah karena tidak lagi mempunyai alat-alat sekolah. Apalagi biaya untuk ini dan itu.

Hari itu, temanku mengantarkan surat panggilan dari sekolah. Aku dan ibu ke sekolah untuk menjelaskan keadaanku. Semula pihak sekolah menyalahkanku, namun setelah ibu membeberkan keadaan kami, akhirnya sekolah memaklumi. Aku diperkenankan kembali sekolah. Wali kelas memberikan nasehat tentang pentingnya sekolah dan masa depan. Aku sadar, ternyata ibu wali kelas telah memberikan jalan penerang bagiku untuk meraih cita-citaku. Pagi aku bersekolah, sedangkan siang hari kugunakan untuk mencari barang-barang bekas.ˇ¨

 

Banjir Besar Merendam Rumah Kami

ˇ§Di penghujung bulan Februari 2002, banjir bandang merendam sebagian kota Jakarta . Sementara di daerah kami, Kapuk Muara dan sepanjang bantaran Kali Angke, air telah merendam dan menghanyutkan rumah-rumah warga. Dalam musibah ini, ada satu pengalaman yang masih teringat dalam pikiranku. Minyak tanah di kompor sudah habis. Aku disuruh ibu membeli nasi di luar. Ketika mau pulang, aku dikejutkan oleh luapan air yang sudah setinggi dada. Aku berpikiran bahwa rumahku pasti sudah terendam. Lalu bagaimana dengan ibu dan adikku? Aku memberanikan diri untuk melintasi arus air yang cukup besar. Aku sempat tenggelam dan nasi yang telah aku beli, hanyut. Untunglah ada orang yang menolongku. Aku hampir tak sadarkan diri. Aku ceritakan pada orang itu apa yang sedang kualami. Akhirnya aku diantar pulang. Aku bersyukur karena ibu dan adikku telah menyelamatkan diri bersama warga lain di pengungsian. Kuraih tangan ibu, dan ibu memelukku erat-erat. Selama di pengungsian, aku dan orang-orang lain diberi nasi bungkus juga diberi obat karena aku demam. Begitu juga dengan adikku. Kami panas, dan kadang menggigil. Ibu hanya mampu memeluk kami. Aku tahu ibu tidak sanggup membawa aku dan adikku ke dokter. Kadang aku berpikir, belum lengkapkah penderitaanku ini? Kapan akan berakhir?

Aku lihat kampung kami, begitu kumuh dan kotor. Berhawa lembab, sampah berserakan. Tiba-tiba ada serombongan orang berseragam celana putih kaos biru. Siapakah mereka? Mau apa mereka? Menggusur kami lagi?! Mengusir kami lagi?! Orang bodoh memang makanan orang pintar! Orang miskin memang umpan orang kaya!

Aku sudah tidak bersekolah lagi. Musnah segala impian dan harapan. Aku memang masih ingat ucapan ibu wali kelas. Tapi apalah dayaku. Sekarang aku tidak punya kemampuan! Waktu terus berlalu. Aku jalani kehidupan sebagai pemulung seutuhnya. Perih hati ini! Saat aku saksikan teman-teman berseragam merah putih, aku iri. Aku hanya bisa tersenyum kecut. Sedih.

Aku dan keluargaku memulai hidup baru dengan mengontrak rumah sederhana di bantaran kali. Kembali aku perhatikan, orang-orang berseragam putih biru itu. Mereka mulai banyak berbicara dengan warga, lalu datang dengan membawa bantuan sembako yang lumayan banyak. Aku terharu menyaksikannya. Aku pikir orang-orang itu sama jahatnya dengan tramtib yang membuat aku jadi trauma. Mereka sering datang. Mereka banyak berbicara dengan Pak RT, RW, dan entah siapa lagi.

Tiba-tiba aku mendengar kabar bahwa daerah tempat kami tinggal akan dibongkar. Katanya daerah kami tidak layak untuk dihuni. Katanya daerah kami menyalahi aturan penataan kota . Katanya daerah kami merusak lingkungan dan menjadi penyebab adanya banjir. O, jadi ini yang diinginkan mereka?! Membagi sembako tetapi ingin mengusir kami. Ibu juga sedih mendengar kabar ini. Tapi kami bisa apa? Kami sudah tidak punya suara lagi untuk teriak. Suaraku sudah serak. Aku lebih baik diam dan pasrah.

 

Sekolah Mewah Itu

ˇ§Entah hari apa aku tak ingat, semua warga dikumpulkan, diberi pengarahan bahwa ada Yayasan Buddha Tzu Chi yang ingin menolong kami. Semua pemukiman yang kumuh di bantaran Kali Angke akan dibongkar dan dipindahkan ke Perumahan Cinta Kasih di Cengkareng. Mendengar kabar tersebut, aku tanggapi dengan dingin. Jangan-jangan aku nanti disuruh untuk ikut beragama Buddha. Aku tidak mau! Namun pihak yayasan senantiasa memberikan penjelasan dengan penuh kasih sayang. Mereka tidak mengajak kami untuk menganut agama Buddha. Mereka hanya ingin menolong kami. Mereka bilang ini misi kemanusiaan.

Akhirnya kami dan warga yang lain pun dipindahkan ke perumahan yang sudah dilengkapi poliklinik, sekolah, tempat olahraga, dan sarana yang lainnya. Aku terperanjat kaget! Aku tidak percaya ini semua! Aku wajib untuk bersekolah selama tinggal di sini. Aku banyak diajari gaya dan cara hidup yang sehat dan bersih.

Sekolah yang mewah dengan biaya SPP hanya Rp 20.000,- saja. Aku sudah dapat seragam. Aku diberi minum susu gratis. Aku diperiksa kesehatan secara gratis. Dan banyak lagi. Sekolah ini pun mutunya jauh lebih baik dari sekolah sebelumnya. Tidak ada sampah berceceran. Tidak ada coretan di meja dan bangku. Ada pelajaran bahasa Mandarin dan masih banyak lagi. Terkadang sulit aku ucapkan dengan kata-kata. Kata ibuku sewa rumah pun murah. Hanya Rp 90.000,-per bulan dengan fasilitas rumah yang sangat permanen. Aku benar-benar merasa beruntung! Terima kasih ya Allah, hanya dengan rahmat dan hidayah-Mu segalanya bisa terjadi. Terima kasih untukmu Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia . Semoga amal baktimu yang kau tebarkan bisa menumbuhkan benih-benih cinta kasih. Sekarang , aku duduk di kelas 1 SMP Cinta Kasih Cengkareng, semoga Tuhan senantiasa memberikan tuntunan dan kekuatan dalam meraih cita-cita.

 

Banyak anak-anak di Perumahan Cinta Kasih yang dulunya hidup seperti Evi. Selalu tergusur, tersisih karena ketidakmampuan ekonomi orangtua mereka. Berkat hangatnya kasih sayang Tzu Chi, Evi bisa meraih mimpi dan bahkan melampauinya.

Evi juga mengatakan bahwa Evi yang dulu sudah lain dengan Evi yang sekarang. Pola hidup yang dijalaninya sekarang pun sudah lain. Ia yang dulu badung dan bandel, mulai berubah. Ia merasa semakin mengerti arti hidup. Ia yang dulu suka membuang sampah, kini mulai membiasakan untuk membuang di tempat yang disediakan. Hal yang selalu ditanamkan oleh Tzu Chi untuk melindungi dan memelihara bumi ini . ˇE Pengantar oleh Dyatmika

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id